WADUH! 3 Desa ini Penghuninya Hanya Wanita Cantik, Begini Susahnya Pria Masuk ke Dalam
Pria tidak diijinkan berkunjung ke tiga desa ini .
Semua penduduk di desa ini adalah perempuan berusia 20-35 tahun.
Di Dunia ini terdapat bermacam macam desa yang unik dan akan terasa aneh jika kita mengetahui bahwa ternyata di desa tersebut tidak ada laki laki yang hidup di sana.
Nah Lo, kenapa bisa? berikut kami terangkan mengapa bisa terjadi seperti itu. Berikut tiga desa yang unik tanpa pria satupun hanya khusus untuk wanita.
Desa Noiva do Cordeiro
Kota Noiva do Cordeiro memang tak dapat dipungkiri lagi. Bukit-bukit yang terhampar dengan cantiknya, pepohonan yang tinggi serta desiran angin yang sejuk membuat masyarakat tak ingin pergi dari kota yang satu ini. Secara kasatmata, kota ini memang terlihat seperti kota biasa.
Namun siapa yang menyangka bahwa kota cantik ini ternyata hanya dihuni oleh wanita saja.
Noiva do Cordeiro dihuni oleh kurang lebih 600 orang wanita yang berusia antara 20 hingga 35 tahun.
Para pria tentu saja ingin mengunjungi kota ini.
Namun tak semudah itu, peraturan ketat pun mereka buat agar para pria tak dapat dengan mudahnya dapat berkunjung ke kota ini.
Sebenarnya, beberapa di antara mereka sudah berkeluarga.
Mereka datang ke kota ini hanya untuk bekerja sementara para suami dapat melepaskan rasa kangen hanya di akhir pekan saja.
"Kota ini sangat terorganisir sangat baik. Para wanita mampu bekerja dengan sangat baik sehingga kota kami selalu terlihat sejuk dan aman walaupun Anda harus berjalan di malam hari. Dapat dikatakan, para wanita jauh lebih bertanggung jawab dibandingkan kaum pria," ujar Rosalee Fernandes (49) salah seorang penduduk di Noiva do Cordeiro.
Para wanita pun saling bahu membahu satu sama lain.
Jika terjadi perselisihan, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Hidup dengan rukun sangat terlihat dari masyarakat Noiva do Cordeiro.
Kota unik ini mulai didirikan pada akhir abad 19 oleh seorang wanita bernama Maria Senhorinha de Lima.
Saat itu, Maria dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pria.
Karena dikucilkan akibat dicap sebagai penzina, akhirnya pada tahun 1891 ia pergi ke suatu daerah.
Kota yang akhirnya ia beri nama Noiva do Cordeiro ini menjadi tempat tinggal Maria bersama dengan para wanita lajang yang ia rangkul untuk hidup bersamanya.
Suatu ketika, ada seorang pria yang menikah dengan salah satu masyarakat Noiva do Cordeiro.
Pria tersebut selalu mengatur apa yang harus dilakukan oleh istrinya.
Ketika pria itu meninggal, para perempuan di Noiva do Cordeiro memutuskan bahwa mereka tak lagi harus menuruti semua perintah dari pria karena mereka dapat hidup dan membangun kota tanpa bantuan pria.
Desa Umoja Kenya
Seperti yang kita ketahui, yang namanya tempat pemukiman penduduk, pastilah dihuni oleh penduduk dengan berbagai usia dan jenis kelamin.
Tapi tidak dengan desa kecil yang terletak di padang rumput Samburu, utara Kenya ini.
Penduduk di desa ini semuanya wanita.
Bahkan pria dilarang memasuki desa kecil ini. Komunitas yang diberi nama Umoja ini dibuat oleh 15 wanita pada tahun 1990.
15 wanita ini adalah orang-orang yang dulunya pernah diperkosa oleh tentara Inggris. Desa spesial ini menawarkan perlindungan dan harapan untuk wanita yang telah mengalami penganiayaan.
Di tempat inilah para wanita mencari perlindungan dari kekerasan yang mereka alami seperti perkosaan, pernikahan yang dipaksakan, female genital mutilation atau mutilasi alat kelamin wanita, serta kekerasan rumah tangga.
Seita Lengima, salah satu penduduk tertua di Umoja mengatakan bahwa di luar komunitas tersebut, wanita dikekang dan diatur oleh pria sehingga nasib para wanita tersebut tidak bisa berubah.
Di Umoja, wanita punya kebebasan mereka.
Rebecca Lolosoli, salah satu pendiri Umoja ini pernah sampai dirawat di rumah sakit setelah dianiaya oleh sekelompok pria saat ia mengungkapkan ide untuk membuat komunitas wanita.
Para pria memukulinya untuk memberikan pelajaran karena berani bicara pada wanita lain di desanya tentang hak mereka.
Meski begitu sahabat anehdidunia.com, jangan dikira para wanita yang berlindung di Umoja hanya sekedar wanita yang mencari kebebasan.
Bukan. Di sini mereka punya cerita masa lalu menyakitkan yang sayangnya tidak didengar oleh para pria di tempat tinggal mereka dulu.
Salah satu contohnya adalah Mamusi, penyambut tamu desa Umoja.
Ia mengatakan bahwa dirinya ditukar dengan beberapa ekor sapi oleh ayahnya saat masih berusia 11 tahun untuk dijadikan istri bagi seorang pria berusia 57 tahun.
Salah seorang wanita lainnya, Jane yang berusia 38 tahun diperkosa oleh 3 orang pria. Saat itu ia sedang menggembala kambing dan domba milik suaminya sambil membawa kayu bakar.
Tiba-tiba ia diserang oleh tiga orang pria yang kemudian memperkosanya.
Karena merasa malu dan terluka, ia tidak berani berkata apa-apa.
Namun saat suaminya mengetahui apa yang terjadi, Jane justru dipukuli dengan tongkat oleh suaminya. Akhirnya ia membawa anaknya dan pergi dari desa asalnya menuju Umoja.
Kabar tentang desa ini lama kelamaan semakin menyebar.
Seita mengingat bagaimana ia mendengar kabar tentang Umoja dari gosip yang beredar di desanya. Ketika ia tiba di Umoja, ternyata situasi lebih baik dari yang diharapkannya.
Ia diberi seekor kambing, diberi air, dan mulai merasa aman di sana.
Saat ini, ada 47 wanita dan 200 anak-anak yang tinggal di Umoja.
Para wanita mendapatkan penghasilan dengan menyediakan kemah bagi turis serta menjual perhiasan tradisional. Desa tersebut juga memasang tarif yang kecil untuk turis yang ingin mengunjungi desa mereka.
Dengan penghasilan tersebut, para wanita di Umoja mampu bertahan untuk beutuhan sehari-hari mereka.
Tidak hanya itu saja, para wanita di sini juga belajar banyak hal yang biasanya dilarang dilakukan seperti bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Di Umoja, mereka bisa mendapatkan penghasilan mereka sendiri dan saat turis membeli perhiasan yang mereka buat, para wanita tersebut merasa sangat bangga.
Hingga saat ini, usaha mendapatkan keadilan terutama bagi mereka yang diperkosa oleh tentara asing tidak membuahkan hasil.
Namun bagi para wanita Umoja, hal yang terpenting bagi mereka adalah memiliki tempat aman yang bisa mereka sebut rumah.
Desa Sakakah Arab Saudi
Desa kecil di pinggir Kota Sakakah, Provinsi al-Jawf, barat daya Arab Saudi memang unik karena seluruh penduduknya perempuan. Hanya saja, jangan bayangkan di pemukiman ini perempuan bebas sesuka hati melakukan apa yang mereka mau.
Baru-baru ini, pengurus desa itu malah mengeluarkan larangan agar gadis-gadis tidak berpenampilan tomboi.
Desa ini memang kebanjiran perempuan dari kota lain di Saudi karena keunikannya yang cuma berisi kaum hawa.
Namun, penduduk asli mengaku tidak suka dengan para pendatang membawa budaya asing seperti pakaian yang memperlihatkan aurat serta musik-musik bising..
Berkebalikan dari bayangan para feminis, pemukiman itu bukan tempat wanita mencari suaka di Saudi.
Alasan penghuninya cuma kaum hawa, karena ada pemisahan tegas antara hunian laki-laki dan perempuan di wilayah al-Jawf yang sangat puritan dalam beragama.
Pengurus desa mengeluarkan ancaman bakal mengusir perempuan di desa itu yang tidak bersikap baik.
Sasaran awal mereka adalah gadis berpenampilan seperti lelaki atau tomboi, serta yang memakai pakaian seronok.
"Fenomena pendatang itu tidak mencerminkan budaya asli di desa ini. Sehingga perlu bagi kita buat membasminya," seperti tertulis di selebaran pengurus desa.
Ke depan, aturan di desa itu bakal semakin tegas. Pengunjung dari luar daerah tidak boleh membawa kamera atau telepon seluler. Bukan hanya gadis tomboi yang dianggap melawan tradisi.
Perempuan dengan dandanan 'punk' juga bakal diharamkan.
Bahkan, dewan adat lokal di Sakakah bersiap melarang kaum hawa yang nyeleneh itu memasuki sekolah umum atau universitas. (*)
Artikel ini sudah tayang di Bangka Pos dengan judul Tiga Desa ini Sulit Dikunjungi Pria, Ternyata Penduduknya Semua Perempuan Loh